"Merantau" sesungguhnya tak bisa dipisahkan dari
masyarakat Minangkabau. Asal usul kata "merantau" itu sendiri berasal
dari bahasa dan budaya Minangkabau yaitu "rantau". Rantau pada awalnya
bermakna : wilayah wilayah yang berada di luar wilayah inti Minangkabau
(tempat awal mula peradaban Minangkabau). Peradaban Minangkabau
mengalami beberapa periode atau pasang surut. Wilayah inti itu disebut
"darek" (darat) atau Luhak
nan Tigo. Aktifitas orang orang dari wilayah inti ke wilayah luar
disebut "marantau" atau pergi ke wilayah rantau. Lama kelamaan wilayah
rantau pun jadi wilayah Minangkabau. Akhirnya wilayah rantau menjadi
semakin jauh dan luas, bahkan pada zaman modern sekarang ini wilayah
rantau orang Minangkabau bisa disebut di seluruh dunia, walaupun wilayah
tersebut tak akan mungkin masuk kategori wilayah Minangkabau namun
tetap disebut "rantau". Filosofi dan tujuan "merantau" orang Minang berbeda dengan imigrasi, urbanisasi, atau transmigrasi yang dilakukan kelompok lain.
Banyak orang dari berbagai suku atau etnis yang merantau, di
antaranya yang fenomenal adalah kaum Minangkabau. Seorang laki laki
Minangkabau saat menginjak usia dewasa muda (20-30 tahun) sudah didorong
pergi merantau oleh kultur / budaya adat Minangkabau yang dianut suku
tersebut sejak dulu kala, entah kapan bermulanya tak bisa diketahui
secara pasti. Tapi setidaknya berdasarkan sejarah yang masih bisa
ditelusuri sekitar abad ke 7 orang orang atau pedagang Minangkabau berperan besar dalam pendirian kerajaan Melayu di wilayah Jambi sekarang yang pada zamannya berada pada posisi yang strategis dalam perdagangan di Selat Malaka atau Asia Tenggara umumnya.
Wilayah perantauan
Masyarakat Minangkabau dikenal punya tradisi merantau yang kuat. Mereka telah mengembara ke wilayah Asia Tenggara lainnya sejak berabad abad yang lalu. Keturunan mereka sampai saat ini masih ada bahkan berkembang di banyak tempat seperti Aceh, Riau, Sumatera Utara, Jambi, Bengkulu, Lampung atau wilayah Sumatera lainnya dan juga di Jawa, Sulawesi, Kalimantan, Nusa Tenggara, Malaysia, Singapura, Brunei, Filipina Selatan, dan lain lain.
Suku Aneuk Jamee
di Aceh adalah masyarakat keturunan Minangkabau yang nenek moyang
mereka telah merantau dari Ranah Minang sejak berabad abad yang lalu. Cut Nyak Dhien dan Teuku Umar yang dikenal sebagai pejuang gigih dan dianugerahi gelar pahlawan nasional oleh pemerintah Indonesia adalah anak dan keponakan dari Nanta Setia seorang Uleebalang VI Mukim, keturunan seorang perantau Minang yang juga jadi uleebalang di Kesultanan Aceh pada abad ke 18.
Dengan dukungan raja Pagaruyung Minangkabau, pada abad ke 15 perantau Minangkabau sudah mulai bermukim di Negeri Sembilan semenanjung Malaya.
Komunitas keturunan perantau Minangkabau di Negeri Sembilan yang
populasinya cukup banyak akhirnya menjadi sebuah kerajaan dengan raja
pertamanya Raja Melewar
yang diutus langsung dari Pagaruyung Minangkabau. Pada pertengahan abad
ke 20 seorang Raja Negeri Sembilan yang keturunan Minangkabau Tuanku Abdul Rahman diangkat menjadi raja Malaysia pertama dengan gelar Yang di-Pertuan Agong Malaysia.
Empat orang putera raja Pagaruyung Minangkabau mengembara / merantau ke selatan dan mendirikan Kepaksian Sekala Brak di wilayah Lampung sekarang. Di Mindanao Selatan (Filipina)
keturunan perantau Minangkabau dari ratusan tahun yang lalu masih ada
sampai saat ini. Gelar bangsawan mereka "Ampatuan" yang berasal dari
Pagaruyung / Minangkabau (Ampu Tuan) masih mereka pakai sampai sekarang.
Di Sulawesi Selatan keturunan Datuk Makotta Minangkabau sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari masyarakat Bugis-Makassar sejak ratusan tahun yang lalu.
Di pesisir barat Sumatera Utara mulai dari Natal sampai Sibolga, Sorkam dan Barus
keturunan Minangkabau telah bertransformasi dan telah berubah nama
menjadi "Orang Pesisir". Dahulunya nenek moyang mereka berasal dari
wilayah Painan, Padang dan Pariaman. Sampai sekarang bahasa mereka hampir tak ada bedanya dengan bahasa Minangkabau. Saat masa jayanya Bandar Malaka pada abad ke 15 di semenanjung Malaya, di wilayah Batu Bara dan Asahan Sumatera Utara dulunya banyak bermukim komunitas Minangkabau dan menerapkan sistim adat Minangkabau yang matrilineal sebelum berubah jadi patrilineal atas desakan Sultan Deli. Saat ini keturunan Minangkabau tersebut telah lebur kedalam masyarakat Melayu pesisir timur Sumatera Utara.
Tidak hanya di Negeri Sembilan perantau Minangkabau mendirikan kerajaan, pada akhir abad ke 14 seorang perantau Minang lainnya Raja Bagindo juga mendirikan Kesultanan Sulu di Filipina Selatan. Awang Alak Betatar pendiri Kesultanan Brunei disebutkan berasal dari Minangkabau juga, bahkan saat acara peresmian replika Istana Pagaruyung pada tahun 80 an Sultan Brunei Hassanal Bolkiah juga ikut hadir dan sempat mengatakan bahwa leluhurnya berasal dari Pagaruyung Minangkabau.
Kalau ditelusuri lebih jauh lagi ke belakang, sebuah peninggalan sejarah dari abad ke 7 masehi yaitu prasasti Kedukan Bukit di Palembang menyatakan bahwa Kerajaan Sriwijaya didirikan oleh Dapunta Hyang setelah bertolak dari Minanga Tamwan
dengan membawa bala tentara sebanyak 20.000 orang. Ada ahli sejarah
yang berpendapat bahwa Minanga Tamwan zaman kuno yang berpusat di hulu
sungai Batang Hari atau di hulu sungai Kampar
itu adalah Minangkabau sekarang. Mengenai hal ini memang masih belum
ada kesamaan pendapat di antara para ahli sejarah, ada yang berpendapat
Dapunta Hyang bertolak dari Minanga Tamwan kearah selatan, lalu
mendirikan wanua (kerajaan Sriwijaya) setelah menemukan tempat yang
dianggap tepat. Sedangkan ahli yang lain berpendapat Minanga Tamwan
adalah kerajaan taklukan Dapunta Hyang. Tidak tertutup kemungkinan bahwa
pendapat yang pertama dari para ahli sejarah tersebut benar adanya
mengingat prestasi yang dicapai orang orang Minangkabau dalam
petualangan perantauannya baik dimasa lalu maupun dimasa kini.
Selain perantauan yang bersifat kolektif dan agak masif yang kemudian
hari menjadi suatu komunitas bahkan kerajaan, juga ada perantau
individual yang merantau ke wilayah yang tidak lazim dijadikan tujuan
perantauan orang Minang pada masa itu. Selain Datuk Makotta Minangkabau
juga ada tiga orang Datuk yang ulama yaitu Datuk Ri Bandang, Datuk Ri Pattimang, Datuk Ri Tiro
merantau ke wilayah timur dan menyebarkan agama Islam di wilayah
Sulawesi dan Nusa Tenggara pada awal abad ke 17. Sampai saat ini
masyarakat setempat tetap mengenang jasa jasa mereka. Di beberapa
wilayah Kalimantan Timur dan Sulawesi Tengah, Tuan Tunggang Parangan dan Datuk Karama dikenang masyarakat setempat sebagai pembawa ajaran Islam kedaerah itu.
Di bidang kemiliteran tiga laki laki Minang merantau jauh sampai ke Timur Tengah dan menjadi bagian dari pasukan Janissary Turki yang terkenal hebat pada zamannya. Pada awal abad 19, Kolonel Haji Piobang,
seorang perwira kavaleri dipercaya menjadi panglima dari salah satu
pasukan Janissary. Ia berhasil mengalahkan salah satu pasukan Napoleon dalam perang Piramid di Mesir. Perwira lainnya Mayor H. Sumanik menjadi ahli perang padang pasir bersama H. Miskin.
Dikemudian hari setelah pulang dari perantauan ke Ranah Minang ketiga
anggota pasukan Janissary Turki itu berperan besar sebagai pendiri
pasukan militer dalam perang Padri.
Filosofi dan Tujuan
Sebagian besar dari tokoh tokoh Indonesia dari Minang yang berpengaruh adalah produk "perantauan". Bangsa Indonesia tentu tak akan pernah lupa dengan jasa jasa para pejuang dan pahlawan negara ini yang berasal dari Minangkabau seperti Tan Malaka, Mohammad Hatta, dan Sjahrir yang dianggap tokoh Indonesia paling penting bersama Soekarno dan Jenderal Soedirman dalam perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia. Selain ketiga tokoh tersebut tentu masih banyak tokoh produk perantauan lainnya seperti Mohammad Natsir yang pernah menjabat sebagai Presiden Liga Muslim se Dunia dan perdana menteri Indonesia, Mohammad Yamin yang jadi pelopor Sumpah Pemuda pada tahun 1928, juga Agus Salim yang jadi diplomat ulung, bahkan seorang presiden yang di(ter)lupakan Assaat. Di bidang agama, Minang perantauan juga melahirkan ulama ulama besar seperti Ahmad Khatib Al-Minangkabawi, orang non Arab pertama yang jadi Imam Besar di Masjidil Haram Mekkah yang juga jadi guru bagi banyak ulama besar di nusantara. Juga ada Hamka yang dihormati dan dikagumi tidak hanya oleh umat muslim Indonesia tapi juga umat muslim di negara negara Asia Tenggara lainnya. Di bidang sastra juga lahir dua orang pionir yaitu Chairil Anwar pelopor Angkatan '45 dan Sutan Takdir Alisjahbana pelopor Pujangga Baru, sementara Usmar Ismail dikemudian hari digelari Bapak Film Indonesia, dan banyak lagi yang lainnya.
Semua tokoh tokoh besar tersebut adalah produk "perantauan".
Pencapaian yang tinggi oleh perantau-perantau itu akhirnya menimbulkan
pertanyaan, apakah tujuan dan filosofi orang orang Minang dalam
"merantau". Tidak mudah memahami tujuan dan filosofi itu melalui artikel
yang pendek ini. Secara sederhana bisa direnungkan makna dari sebuah
pepatah bijak Minangkabau yaitu Iduik bajaso, mati bapusako
(Hidup berjasa, mati berpusaka) yang bermakna selagi hidup harus
memberi jasa agar setelah mati meninggalkan pusaka (warisan nama baik)
yang bisa dikenang sepanjang masa. Untuk memahami lebih dalam lagi
filosofi dan tujuan "merantau" orang Minang perlu dibaca karya dari
antropolog dan sosiolog ternama Mochtar Naim dalam bukunya "Merantau".
Orang orang Minangkabau merantau dengan hati dan pikiran terbuka
serta imajinasi yang tinggi. Antropolog Mochtar Naim berpendapat bahwa
disamping merantau dan berdagang, pola hidup masyarakat Minangkabau yang
sangat menonjol adalah suka berpikir dan menelaah.
Kebiasaan positif tersebut pada akhirnya menghasilkan para pemikir dan
tokoh tokoh berpengaruh di nusantara ini. Mereka adalah manusia manusia
yang tak cepat berpuas diri, mereka akan menggapai apapun setinggi
mungkin. Kemampuan dan keberanian menjelajah dunia lain yang berbeda
dengan kampung halaman mereka telah menjadikan kaum itu sebagai perantau
ulung yang tercatat dalam sejarah bangsa bangsa nusantara. Salah satu
falsafah hidup mereka yang paling penting yaitu Alam Takambang Jadi Guru
ikut berperan dalam kemampuan mereka beradaptasi dengan alam yang
berbeda dengan alam Minangkabau, kampung halaman yang tak pernah mereka
lupakan sejauh apapun mereka merantau.
Kebiasaan merantau juga berfungsi sebagai suatu perjalanan spiritual
dan batu ujian bagi kaum lelaki Minangkabau dalam menjalani kehidupan.
Pada masa lalu kaum lelaki Minangkabau yang biasanya telah menguasai
ilmu beladiri silat
untuk menjaga diri, berangkat pergi merantau dari kampung ketempat yang
jauh hanya berbekal seadanya, bahkan tak jarang tanpa bekal sama
sekali. Kehidupan yang keras, jauh dari sanak saudara dan kampung
halaman diharapkan menjadi cobaan untuk menempa jiwa, kegigihan, dan
keuletan si lelaki Minang dalam meningkatkan derajat kehidupannya.
Profesi
Pada masa sekarang, dalam periode di negeri orang inilah orang Minang
yang merantau mencari bidang kehidupan yang mereka minati. Bagi yang
ingin berniaga atau wiraswasta mereka memilih menjadi pedagang. Banyak
bidang usaha yang bisa mereka geluti seperti berdagang di pasar,
mengelola usaha angkutan, usaha percetakan, penjahit pakaian, usaha
rumah makan atau restoran Padang dan banyak lagi yang lain. Karena didorong oleh jiwa merdeka
sedikit di antara mereka yang merantau untuk mencari pekerjaan sebagai
orang gajian. Bagi yang bertujuan menimba ilmu merekapun masuk sekolah
sekolah yang baik. Tak jarang mereka dijadikan pemimpin di komunitas
perguruan tersebut. Banyak di antara mereka menjadi orang besar
dikemudian hari, baik sebagai tokoh pengusaha, politisi, dokter,
ilmuwan, birokrat, seniman, profesional, ulama, militer dan polisi, dan
lain lain.
Bila keadaannya dianggap sudah cukup mapan atau sukses setelah jangka
waktu tertentu, maka barulah ia akan pulang ke kampung halamannya yang
telah lama ditinggalkan. Tidak jarang pula para perantau ini lalu
berkeluarga, dan akhirnya menetap di perantauan. Bagi orang Minangkabau,
fenomena ini disebut "Marantau Cino" atau merantau selamanya dan tak
kembali lagi.
Adaptasi dan Perubahan
Adalah menarik perhatian, bahwa pada umumnya para perantau Minang ini
mampu menyesuaikan diri dengan adat istiadat serta kebudayaan daerah
rantaunya, yang antara lain terlihat pada hampir tidak pernahnya terjadi
konflik dengan masyarakat tempatan yang menjadi tuan rumahnya. Mungkin
sekali hal ini disebabkan oleh pepatah bijak Minangkabau yang berbunyi: Dimano bumi dipijak, disitu langik dijunjuang yang bermakna menghargai kultur dan budaya setempat tanpa harus kehilangan kultur dan budaya sendiri.
Suatu masalah yang belum banyak dikaji tentang para perantau Minang
masa kini adalah mengenai perubahan sistem nilai serta kehidupan sosial
mereka. Secara umum terdapat kesan bahwa para perantau Minang masih
tetap menganut agama Islam dengan taat, akan tetapi dalam hubungan
sosialnya sudah mulai kurang menggunakan warisan adat tradisional
seperti "buah paruik", "kaum" atau "suku", dan lebih banyak berhimpun
dalam satuan nagari asal. Salah satu perhimpunan warga Minang yang paling terkenal dan terorganisasi dengan baik adalah Sulit Air Sepakat
atau SAS. Sulit Air Sepakat atau SAS punya kantor perwakilan di banyak
kota besar di Indonesia dan beberapa di luar negeri seperti Malaysia,
Singapura, Jepang, Amerika Serikat, Australia, Inggris, dan lain lain
Suku-suku baru
Saat ini diperkirakan lebih dari setengah jumlah warga Minangkabau
hidup dan berkembang di wilayah perantauan baik di Indonesia maupun
mancanegara, perkiraan itupun tidak memasukkan keturunan Minangkabau
yang telah merantau dan berkembang sejak sekurangnya 1000 tahun yang
lalu diberbagai wilayah di nusantara atau bahkan dunia pada masa modern
ini. Banyak di antara keturunan mereka telah bertransformasi menjadi orang "Minang Baru" atau bahkan suku-suku baru seperti "Aneuk Jamee" di Aceh, "Orang Pesisir" di pantai barat Sumatera Utara, "Oghang Nogoghi" di Negeri Sembilan, dan entah apa lagi namanya di wilayah wilayah lain yang sudah lama terputus tali sejarah dan tali persaudaraannya dengan Minangkabau. Bahkan Suku Kubu di wilayah Jambi dan Sumatera Selatan, Orang Talang Mamak dan Orang Sakai di Riau, Orang Laut di Kepulauan Riau serta komunitas-komunitas tertentu di Mindanao, Lampung, Sulawesi, Nusa Tenggara, Tapanuli
mengakui bahwa mereka adalah keturunan orang-orang dari Minangkabau
sejak berabad-abad yang lalu. Juga terbetik berita tentang keturunan
Pagaruyung Minangkabau yang "terdampar" di pedalaman Kerajaan
Kotawaringin, Kalimantan Tengah di sebuah negeri bernama Kudangan, yang oleh masyarakat setempat diakui sebagai leluhur mereka.
Thomas Stamford Raffles, seorang Gubernur Jenderal Inggris, setelah melakukan ekspedisi ke pedalaman Minangkabau mengatakan bahwa Minangkabau adalah inti dan sumber kekuatan bangsa Melayu yang menyebar di kepulauan nusantara. Perantau Minangkabau yang fenomenal telah melahirkan
suku suku baru di nusantara ini, dan ini adalah sesuatu yang alami
dalam dinamika kehidupan alam. Banyak di antara mereka yang tak mengenal
lagi kampung halaman nenek moyang mereka yang indah, yang jauh di
pedalaman Sumatera
bagian tengah, di dataran tinggi bergunung gunung gagah yang memberi
hawa sejuk dan di lembah-lembah berdanau indah yang pinggirannya jadi
tepian mandi sejak dulu kala sampai masa kini.
Suku Bugis-Makassar
Suku Bugis-Makassar
juga termasuk suku yang gemar mengembara. Seperti Minangkabau,
keturunan suku Bugis-Makassar juga bertebaran di seantero Asia Tenggara.
Hampir di semua wilayah Asia Tenggara terdapat komunitas Bugis-Makassar
sejak berabad abad yang lalu. Diaspora manusia Bugis-Makassar sangat
intens terjadi semenjak kalahnya Kerajaan Gowa dalam berperang melawan Belanda yang diakhiri dengan Perjanjian Bongaya
pada tahun 1667 yang terasa sangat mengikat dan menghina kaum
Bugis-Makassar. Setelah kekalahan dari Belanda dan rasa tertindas oleh
Perjanjian Bongaya, manusia manusia merdeka Bugis-Makassar pun
berhamburan meninggalkan tanah kelahiran mereka. Dengan kapal kapalnya
yang terkenal mereka mengembara di seantero laut nusantara. Dimana
mereka menemukan wilayah yang bisa menopang kehidupan disitulah mereka
menetap, namun tidak sedikit yang tetap mengembara di lautan dengan
menjadi bajak laut
Keperkasaan pengembara pengembara Bugis-Makassar juga terekam dalam
hikayat hikayat Minangkabau. Tidak jarang terjadi konflik antara
keduanya dalam perebutan kekuasaan di kerajaan Melayu. Salah satunya
adalah kasus perebutan tahta Kesultanan Johor di semenanjung Malaya. Pada masa itu kedua suku bangsa ini dan juga suku bangsa Aceh
adalah pemain pemain kunci di kawasan darat maupun laut bagian barat
nusantara. Disamping bajak laut Bugis-Makassar juga terdapat bajak laut
dari Minangkabau ketika itu. Namun tidaklah semua pengembara dari timur
itu adalah bajak laut, tidak sedikit di antara mereka adalah para
bangsawan Bugis-Makassar yang tidak mau tunduk terhadap kekuasaan Belanda.
Pada masa masa selanjutnya banyak di antara mereka yang berperan
besar di kerajaan kerajaan Melayu bahkan Aceh. Lama kelamaan terjadilah
asimilasi di antara suku suku pengembara tersebut, banyak di antara
mereka yang saling kawin mawin. Keturunan Datuk Mahkota Minangkabau
sangat diterima dan dihargai oleh kaum Bugis-Makassar. Begitu juga di
Aceh, banyak sultan Aceh
yang berdarah Bugis-Makassar. Ini salah satu contoh baik asimilasi
antar suku nusantara. Menurut perkiraan para ahli, di antara suku suku
nusantara setelah diaspora
Minangkabau, diaspora suku Bugis-Makassar termasuk yang paling luas
jangkauannya dan telah berlangsung dari ratusan tahun yang lalu.
Suku Banjar
Tanah asal suku Banjar berada di Kalimantan Selatan, tapi kita dapat menemukan keturunan suku Banjar dalam jumlah yang cukup signifikan di beberapa wilayah seperti Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Riau, Jambi, Sumatera Utara, Jawa Timur
bahkan di luar negeri seperti di Malaysia, Singapura dan Brunei.
Aktivitas merantau orang orang Banjar sudah berlangsung sejak ratusan
tahun yang lalu dan keturunan mereka juga berkembang di wilayah wilayah
tersebut diatas. Diperantauan identitas mereka masih bisa dikenali
sebagai orang Banjar perantauan. Migrasi keluar pulau Kalimantan, bukan
hanya oleh suku Banjar, namun jauh ribuan tahun sebelumnya, tetangga
suku Banjar yaitu manusia proto suku Dayak Maanyan diperkirakan telah melakukan migrasi ke pulau Madagaskar.
Seperti kecenderungan banyak pengembara, mereka juga ada yang
beraktivitas di dunia perdagangan. Dengan banyaknya kantong kantong
komunitas suku Banjar di luar tanah asal mereka dan sudah ada sejak
ratusan tahun yang lalu, maka bisa dikatakan bahwa orang orang Banjar
adalah manusia pengembara juga. Mereka juga para petarung kehidupan yang
tak gentar menghadapi kerasnya kehidupan perantauan. Perantau suku
Banjar pada masa lalu turut serta dalam terbentuknya suku Suluk dan suku Sumbawa.
Mengenai jumlah populasi keturunan Banjar perantauan belum ada data
pasti, namun masih dibawah populasi Minangkabau perantauan dan
Bugis-Makassar perantauan.
Suku Bawean
Suku Bawean
tidaklah banyak populasinya, tapi kalau dihitung persentase perantaunya
dibanding populasi keseluruhan didapat angka yang cukup tinggi. Kampung
halaman mereka di pulau kecil yaitu Pulau Bawean,
ditengah laut luas antara dua pulau besar yaitu Kalimantan dan Jawa.
Mereka banyak merantau ke Malaysia sejak masih ramainya kota pelabuhan Malaka
pada sekitar abad 19. Di Malaysia mereka lebih dikenali sebagai orang
Boyan. Walaupun jumlah populasi perantaunya tidak begitu banyak, tapi
karena persentasenya yang tinggi dibanding jumlah populasi keseluruhan,
maka juga bisa dikategorikan bahwa orang Bawean termasuk manusia
perantau juga.
Suku Batak
Suku Batak
termasuk yang belakangan melakukan aktivitas merantau. Tapi
perkembangan aktivitas merantau mereka terhitung pesat. Mereka baru
sekitar satu abad lebih keluar secara cukup masif dari kampung halaman
mereka yang indah di tepian danau Toba.
Diaspora Batak yang cukup masif dimulai pada penghujung abad 19 atau
awal abad 20, dimulai dari menyebarnya mereka dari wilayah Tapanuli ke
daerah sekitar, seperti Medan dan Deli
karena berkembangnya perkebunan di wilayah tersebut. Seiring dengan
pertambahan populasi yang cepat maka semakin pesat pula arus urbanisasi
orang orang dari Tanah Batak ke seantero nusantara. Pada masa sekarang
ini kita dengan mudah menemukan orang Batak diberbagai tempat.
Suku Batak terdiri dari beberapa puak, yaitu puak Toba, Mandailing, Angkola, Karo, Simalungun, dan Pakpak.
Puak Toba, Mandailing dan Karo terhitung yang paling pesat
pencapaiannya dalam bermacam bidang kehidupan di perantauan dibanding
puak lainnya.
Bagi warga Batak Toba yang mayoritas memeluk agama Kristen biasanya mereka mendirikan gereja HKBP di tempat baru untuk beribadah. Orang Batak banyak yang pergi merantau ke Medan dan Jakarta serta kebeberapa wilayah di Indonesia. Jumlah perantau suku Batak diperkirakan menduduki peringkat ketiga setelah perantau Minangkabau dan Bugis-Makassar.
Menurut sensus pada tahun 2006, jumlah perantau Batak mencapai 19,8 %
dari jumlah populasi dengan puak Batak Toba sebagai yang terbesar dan
yang terkecil dari puak Batak Pakpak
Motif merantau orang Batak Toba sendiri terdapat dalam falsafah hidup
mereka yakni Hagabeon, Hasangapon, Habontaron dan Harajaon. Bagi orang
orang dari suku Batak merantau bertujuan untuk meraih kehidupan yang
lebih baik, berusaha bertahan di suatu daerah dan membentuk kehidupan
baru di luar kampung halaman. Falsafah ini sukses dilakukan oleh orang
Batak di perantauan terutama di wilayah Medan, Sumatera Utara serta
beberapa kawasan didaerah selatan Aceh serta utara Sumatera Barat dan Riau, dan berbaur dengan masyarakat setempat dengan harmonis.
Suku Madura
Satu lagi suku perantau dari nusantara ini, yaitu suku Madura.
Tanah asal suku Madura adalah pulau Madura, tapi diujung timur pulau
Jawa juga telah menjadi kampung halaman mereka. Kaum Madura telah
tersebar dibagian lain nusantara ini sejak ratusan tahun yang lalu.
Walaupun jumlah populasi perantaunya tidak sebanyak orang Minangkabau
dan Bugis-Makassar, mereka tetap bisa disebut sebagai suku perantau.
Orang Madura banyak merantau ke Kalimantan dan wilayah lainnya di pulau Jawa selain Jawa Timur. Di Sulawesi juga ada perantau dari Madura, begitu juga di kepulauan Bangka Belitung.
Pasca tragedi di Kalimantan, wilayah perantauan orang orang Madura
semakin meluas. Sekarang ini kita juga bisa menemukan perantau Madura di
pulau Sumatera. Orang orang dari suku Madura juga dikenal ulet, tidak
gampang menyerah, salah satu modal utama para perantau.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar